Sulawesi Tenggara: Menjaga Jejak Bumi di Jantung Wallacea
Oleh: Rioberto Sidauruk – Pemerhati Lingkungan Pariwisata
Sulawesi Tenggara (Sultra) adalah sebuah puzzle geologi yang unik di jantung kawasan Wallacea. Dari batuan ultrabasa di Kolaka yang mengandung nikel tertua di dunia, hingga terumbu karang prasejarah di Kepulauan Tukangbesi, provinsi ini merekam catatan bumi yang tak ternilai. Bentang alamnya "hidup"—gempa bumi di Wakatobi bukanlah bencana semata, melainkan bukti dinamika lempeng yang terus berlangsung.
Di Pegunungan Mekongga, jejak tumbukan lempeng terpahat jelas pada batuan ofiolitnya. Sementara di kawasan karst Moramo, proses pelarutan batu kapur menciptakan laboratorium geomorfologi alami. Potensi geopark di Sultra berbeda: bukan sekadar melihat masa lalu, melainkan menyaksikan proses geologi yang masih aktif.
Tiga Jurang Pemahaman yang Perlu Dijembatani
Ada tiga hambatan utama yang perlu diatasi untuk mengangkat potensi geopark di Sulawesi Tenggara.
Pertama, ketidakjelasan status kawasan. Hampir 60% wilayah geologi unik Sultra berada di area tambang. Karst Rumbia, yang seharusnya menjadi geopark, justru dikepung pertambangan nikel. Kondisi ini memunculkan pertanyaan krusial: sampai kapan warisan geologi akan terus dikorbankan demi mineral?
Kedua, minimnya riset terpadu. Penelitian di Sultra masih terfragmentasi. Geolog mempelajari batuan, biolog meneliti keanekaragaman hayati, dan antropolog mendokumentasikan budaya. Padahal, kekuatan geopark terletak pada pendekatan multidisiplin. Gua Moko di Konawe Selatan, misalnya, tidak hanya memiliki stalaktit unik, tetapi juga lukisan purba dan ekosistem kelelawar endemik. Integrasi riset sangat dibutuhkan.
Ketiga, keterputusan dengan masyarakat lokal. Suku Wolio di Buton memiliki kearifan lokal "palili" dalam mengelola batu karang, namun pengetahuan ini belum terintegrasi dalam konsep konservasi modern. Demikian pula di Banggai, masyarakat pesisir mengenal pola migrasi ikan berdasarkan struktur batuan dasar laut—pengetahuan yang dapat memperkaya interpretasi geopark.
Tiga Langkah Strategis Menuju Pengakuan Global Untuk meraih pengakuan global sebagai geopark, Sulawesi Tenggara perlu mengambil tiga langkah strategis.
Pertama, membangun "geo-route" lintas kabupaten. Rute geowisata dapat menghubungkan tiga laboratorium alam utama: dari geologi tambang di Kolaka, geomorfologi karst di Konawe, hingga geologi kelautan di Wakatobi. Pendekatan ini akan menciptakan paket wisata yang komprehensif dan menarik.
Kedua, mengembangkan pusat interpretasi berbasis komunitas. Daripada membangun museum megah di perkotaan, lebih efektif membangun unit interpretasi sederhana di setiap lokasi strategis. Masyarakat Moramo dapat dilatih membaca "bahasa batuan" di karst mereka sendiri, sementara nelayan Wakatobi bisa menjadi pemandu geo-heritage bahari.
Pemberdayaan komunitas lokal adalah kunci.
Ketiga, menyusun dokumen nominasi berbasis kekhasan Wallacea. Berbeda dengan geopark lain di Indonesia, keunikan Sultra terletak pada interaksi kompleks antara geologi, budaya, dan keanekaragaman hayati. Nominasi ke UNESCO harus menonjolkan keistimewaan ini, seperti suksesnya geopark Ciletuh dengan pendekatan "geo-bio-cultural".
Menjadi Penjaga Perbatasan Lempeng
Sulawesi Tenggara berdiri di zona unik pertemuan tiga lempeng besar. Posisi geologis ini tidak hanya membentuk bentang alamnya, tetapi juga menentukan nasib warisan geologinya. Saat provinsi lain mengembangkan geopark berdasarkan keindahan alam, Sultra memiliki peluang menjadi geopark edukasi tentang dinamika bumi yang aktif.
Gunung api purba di Kabaena dapat menjadi ruang kelas tentang vulkanisme.
Pulau Binongko yang terangkat akibat tektonik adalah buku teks terbuka. Dan terumbu karang Wakatobi menjadi papan tulis tentang evolusi kehidupan. Tantangannya sekarang adalah mengubah potensi menjadi aksi nyata—sebelum semua kekayaan ini hanya tinggal cerita di balik lubang tambang dan tambang nikel yang menganga.
Apakah Sulawesi Tenggara siap menjadi penjaga perbatasan lempeng dan pionir geopark edukasi di jantung Wallacea? (r10).